ulasansingkat

sekedar ulasan (film) singkat

Tag Archives: dunia perfilman indonesia

Hollywood di Indonesia (esei)

Hollywood di Indonesia

 

Sering kita mendengar bahwa film-film Indonesia akhirnya sudah bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri. Film-film karya anak bangsa sudah bisa bersaing dengan film-film impor (Hollywood). Bila melihat statistik, hal ini memang benar berlaku bagi film-film tertentu. Tetapi berlakukah bagi seluruh film-film Indonesia secara umum?

Beberapa waktu lalu terjadi sebuah kejadian yang patut diambil hikmahnya. Yaitu saat film-film impor (terutama Hollywood) berhenti tayang di layar bioskop tanah air. Saat itu film-film Indonesia 100% mengisi setiap layar yang tersedia. Banyak yang berpendapat bahwa saat itu merupakan kesempatan emas bagi film-film Indonesia yang tayang untuk mendapatkan penonton yang biasanya akan disedot oleh film-film impor.

Namun apa yang terjadi? Bioskop sepi.

Baca pos ini lebih lanjut

Jermal

Jermal (2008)
sut: Ravi L. Bharwani | Rayya Makarim | Utawa Tresno
pen: Rayya Makarim | Ravi L. Bharwani | Orlow Seunke
Indonesia

Belum pernah mendengar film ini sebelumnya sebelum beberapa hari yang lalu, se-ignorant itulah saya (yang mengaku cinephile) terhadap dunia perfilman Indonesia. Dan kalau tidak disuruh nonton oleh dosen, mungkin film ini tidak akan tertangkap radar saya sama sekali. Maafkan.

Saya benar-benar terkejut menemukan film Indonesia yang lebih mengutamakan bahasa visual untuk membawakan ceritanya. Skenarionya benar-benar luar biasa dalam menguraikan plot dan membangun karakter-karakternya. Dan keputusan untuk shot on location berhasil menambah keotentikan dan kedalaman terhadap dramanya.

Saya tidak menemukan banyak informasi mengenai para filmmaker-nya, tetapi di IMDb dituliskan co-director sekaligus co-writer Rayya Makarim, bahwa wanita ini lahir di Amerika. Sungguh mengagumkan betapa ia mampu meng-capture “kenormalan” dialog sehari-hari Indonesia. Terutama di scene saat Johar membacakan surat yang ia tulis untuk Jaya.

Memang jelas terlihat di layar, bahwa film ini memiliki perencanaan yang matang yang pasti memakan waktu yang lama sebelum dieksekusi. Sehingga agak sulit melupakan ketiadaan resolusi terhadap character arc dan “status” karakter Gion (si “preman”). Maksud saya apakah ia tetap menjadi bully? Apakah ia tetap menjadi “bos” anak-anak?

Kemudian para karakter anak-anaknya juga tidak ada yang benar-benar memiliki “karakter”, kecuali mungkin karakter Ahab (si “ikan paus”) dan karakter Topan (si kecil yang ngaku 18 tahun). Dan bahkan merekapun masih terasa sebagai plot-device. Saya berharap bahwa sayalah yang membawa mindset naratif yang salah terhadap film ini, dan hal-hal di atas memang dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Dan sebenarnya hal-hal tersebut tidak terlalu mengganggu viewing experience-nya, karena kekuatan utama film ini adalah mood dan atmosfirnya.

Secara keseluruhan, film ini diarahkan dengan sangat baik dengan sensibilitas sinema Eropa yang condong terhadap emosi dan interaksi yang realistis, dan menggali sangat dalam ke limpahan emosi internal para karakter di dalam film. Sangat direkomendasikan bagi para cinephiles dan penikmat sinema seni.

8.5/10

Jermal: rekomendasi bagi para cinephiles (13+)